HUKUM ASURANSI MENURUT PANDANGAN PARA ULAMA
PENDAHULUAN
I .Tinjauan Fiqih Terhadap Asuransi[2]
Secara global, dasar filosofis adanya asuransi dalam tinjauan fiqih muamalah merupakan hal yang mubah (boleh) yaitu adanya usaha atau upaya antisipasi terhadap resiko, sesuai dengan kaidah umum dalam muamalah yang menyatakan bagwa "pada dasarnya tiap transaksi muamalah adalah diperbolehkan, kecuali ada hal yang menjadikanya dilarang (yang mengharamkanya).
Namun demikian, untuk melihat secara objektif apakah ada hal yang membuat transaksi dalam asuransi itu dilarang perlu kita lihat dari berbagai aspek baik prinsip, konsep dasar, maupun mekanismenya. Secara lebih spesifik bisa kita lihat dari beberapa aspek berikut:
Akad (kontrak)
Kejelasan akad dalam praktik muamalah menjadi prinsip karena aka menentukan sah tidaknya secara syariah. Demikian halnya dengan asuransi. Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas, apakah akadnya jual beli (tabaduli) atau olong menlong (takafuli).
Dalam asuransi konvensional, terjadi kerancuan/ketidakjelasan dalam masalah akad dengan mekanisme atau prakteknya dilapangan. Pada asuransi konvensional dilihat dari karakteristiknya, akad yang mendasari yaitu akad jual beli (tabaduli). Oleh karena itu, seharusnya syarat-syarat dalam jual beli harus terpenuhi dan tidak boleh dilangar ketentuan syariahnya.
Dalam asuransi konvensional terjadi cacat dalam akadnya karena ada unsur ketidakjelasan (gharar), yaitu berapa besar yang akan dibayarkan kepada pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non saving). Dengan demikian maka konsekwensi dari akad dalam asuransi konvensional, dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi.
Berbeda sekali dengan konsep tolong menolong (takafuli) atau tabaru. Tabarru bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta takaful, ketika diantaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru disimpan dalam suatu rekening khusus, dimana apabila ada yang terkena musibah, dana klaim yang akan diberikan adalah dari rekening tabarrru yang sudah diniatkan oleh sesama peserta takaful untuk saling menolnng. Sehingga konsekwensi dari akad takaful, dana yang terkumpul adalah milik peserta dan perusahaan asuransi tidak boleh mengklaim dana tersebut miliknya.
Adanya Unsur Riba
Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan sebagian dananya dengan bunga. Dengan demikian asuransi konvensional selalu melibatkan diri dalam riba. Demikian juga dengan perhitungan terhadap peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan didepan, dan hal inilah yang bertentangan dengan syariah.
Adanya Unsur Maisir dan Gharar
Dalam mekanisme asuransi konvesional, maisir (untung-untungan) muncul sebagai akibat status kepemilikan dana dan adanya gharar. Baiul gharar menurut wahbah Zuhaili (1984) adalah jual beli yang mengandung resiko bagi salah seorang yang mengadakan akad sehingga mengakibatkan hilangnya harta. Fator inilah yang dalam asuransi konvensional disebut maisir (gambling).
Dalam asuransi kovensional terdapat unsur gharar yang pada giliranya menibulkan qimaar. Sedangkan al qimaar sama dengan al maisir. Adanya unsur al maisir karena adanyaunsur gharar, terutama pada akasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum akhir periode polis asuransinya namun telah membayar sebagian preminya, maka tanggunganya akan menerima sejumlah uang tertentu sebagamana cara memperoleh uang dan dari mana asalnya tidak diberitahuka kepada pemegang polis. Hal ni dipandang sebagai maisir. Unsur ini pula yang yang terdapat dalam bisnis asuransi dimana keuntungan yang diperoleh tertangung dengan pengalaman si penanggung keuntungan dipandang sebagai hasil dari mengambil resiko bahkan sebagai hasil kerja riil.
Dana Hangus
Hal lain yang sering dipermasalahkan oleh para ulama pada asuransi konvensional adalah adanya dana hangus, dimana peserta yang tida dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana peserta itu hangus demikian pula asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus yang sekaligus berarti menjadi milik pihak asuransi.
II .PENDAPAT PARA ULAMA MENGEAI HUKUM ASURANSI[3]
A. Pendapat pertama: Mengharamkan
Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth'i (mufti Mesir"). Sedangkan alasan-alasan yang merekakemukakan ada banyak, tapi kalau kita simpulkan apa yang telah mereka uraikan panjang lebar antara lain
adalah:
1. ASuransi sama dengan judi.
2. Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
3. Asuransi mengandung unsur riba/renten.
4. Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi.
5. Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
6. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
7. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan
mendahului takdir Allah.
B. Pendapat Kedua: Membolehkan
Pendapat kedua ini dikemukakan juga oleh beberapa ulama Islam. Antara lain oleh Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari'ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir), dan Abdur Rahman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha).
Di antara landasan mereka dalam menghalalkan asuransi antara lain kita ringkaskan diri adalah:
1. Tidak ada nash (al-Qur'an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
2. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
3. Saling menguntungkan kedua belah pihak.
4. Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang
terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan
pembangunan.
5. Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
6. Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta'awuniyah).
7. Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
C. Pendapat Ketiga [4]
Setelah berkembang kedua wacana di atas, para ulama kemudian melihat kembali lebih dalam pada sistem asuransi ini. Ternyata masing-masing pihak ada benarnya, meski tidak berarti steril dari kesalahan. Maka sebagian ulama kemudian meneliti ulang dan kemudian menelurkan pendapat ketiga.
Dan kesimpulannya adala bahwa asuransi itu harus dibedakan berdasarkan jenis dan fungsinya, serta sistem yang diberlakukan. Dan kesimplulan itu kemudian disederhanakan dengan kallimat bahwa bila asuransi itu bersifat sosial maka hukumnya dibolehkan.Sebaliknya bila asuransi itu semata-mata bersifat komersial, maka hukumnya haram. Pendapat ketiga ini nampaknya sekarang banyak dianut oleh para ulama kontemorer, antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Kairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).
Suatu asuransi diperbolehkan secara syar'i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:[5]
1. Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama), tolong menolong,saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman," Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong
menolong dalam dosa dan permusuhan."
2. Asuransi syariat tidak bersifat mu'awadhoh, tetapi tabarru' atau mudhorobah.
3. Sumbangan (tabarru') sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
4. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
5. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
6. Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut
aturan syar'i.
Beberapa lembaga keuangan syariah nampaknya sudah mulai mulai menerapkan sistem asuransi syariah ini. Insya Allah berangkat dari landasan syar'i yang baik, serta diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah baik yang bersifat internal, ataupun yang bersifat eksternal, yaitu dari Dewan Syariah Nasional (DSN). Adanya pengawasan dua lapis ini diharapkan memberikan jaminan kesesuaian praktek sistem asuransi dengan syariah Islam.
Karena itu, untuk halalnya harta dan berkahnya hidup kita, sebaiknya kita lebih memilih asuransi yang nyata benar menerapkan sistem syariah dalam prakteknya. Semoga Allah SWT memberkahi harta dan kehidupan kita dengan kita memilih harta yang halal.
III .FATWA ASURANSI SYRI’AH, DEWAN PENGAWAS SYRI’AH NASIONAL
Menetapkan : FATWA TENTANG PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH[6]
Pertama : Ketentuan Umum
1. Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
5. Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
6. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Kedua : Akad dalam Asuransi
1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan / atau akad tabarru'.
2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.
3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :
a. hak & kewajiban peserta dan perusahaan;
b. cara dan waktu pembayaran premi;
c. jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Ketiga : Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis);
2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.
Keempat : Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
2. Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
Kelima : Jenis Asuransi dan Akadnya
1. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.
Keenam : Premi
1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru'.
2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.
3. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
4. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru' dapat diinvestasikan.
Ketujuh : Klaim
1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
4. Klaim atas akad tabarru', merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.
Kedelapan : Investasi
1. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.
2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
Kesembilan : Reasuransi
Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syari'ah.
Kesepuluh : Pengelolaan
1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
2. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
3. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).
Kesebelas : Ketentuan Tambahan
1. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.
2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA :
v Muhammad syakir sula,Asuransi Syari’ah
v Fatwa dewan syari'ah nasional no: 21/dsn-mui/x/2001
v Karnaen A perwataatmadjaya,Asuransi syariah hlm 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar